AIR BULUH, HUTANRIAU – Freti (11) sedang mempersiapkan diri menghadapi ujian sekolah (US, dulu dikenal dengan UN) tingkat Sekolah Dasar (SD). Perasaan bahagia sekaligus gugup memenuhi relung hati Freti, sebentar lagi ia akan menjadi murid Sekolah Menengah Pertama (SMP). Rambut panjang Freti terurai melewati batas pinggangnya, tubuh mungilnya dengan lincah melewatiku saat kami berjalan menuju Kelok S. Kelok S adalah salah satu lokasi jeram di sungai (batang) Buluh, Kabupaten Kuantan Singingi. Menurut Preti, penduduk desa Air Buluh ini biasanya mengarungi kelok S dengan benen (sebutan lokal untuk ban dalam bekas).
Terdengar tawa candanya dengan sang ayah, Hendri (36) yang menemani kami menuju kelok S. Hendri memberi semangat Freti dalam menghadapi ujian nanti.
Puluhan anak-anak berusia 10-15 tahun memandu kami menuju kelok S. Mereka membawa benen berdiameter setengah hingga satu meter. Namun tak semua anak memegang benen, ada yang berkongsi dengan kawannya. Setelah berjalan sekitar 1 km dari rumah Freti, kami sampai di tepi sungai. Ayahnya menjelaskan bahwa kita tidak mulai dari pangkal kelok S. Karena hujan deras tadi malam, Hendri memutuskan mulai babenen (bahasa lokal untuk mengarungi sungai dengan benen) dari ekor kelok S. Kemudian akan menepi di sungai dekat rumahnya.
Tiga anak lelaki meluncur lebih dulu ke sungai dengan benennya, sambil berteriak mengajak kami turut serta. Anak-anak yang lain kemudian mengikuti ketiga anak tadi. Hanya 6 orang tersisa termasuk saya, Freti dan Hendri.
Freti terlihat gugup bercampur senang, ia tetap berada di sisi Hendri menunggu aba-aba karena mereka berdua harus berkongsi benen. Kami berenam meluncur berurutan karena anak-anak yang lain sudah tak kelihatan, menghilang di kelokan sungai yang membentuk huruf S.
Di depan tampak sebuah jeram telah menunggu, posisi saya di belakang Freti dapat melihat jelas, ketika ombaknya seakan menggulung tubuh mungilnya. Berpacu derasnya arus yang menyeret benennya, ia terlihat panik ketika tak melihat ayah disampingnya.
“Ayah mana?”, teriak Freti.
Salah seorang teman saya, Izom, menggapai benen Freti dan berusaha menenangkannya. Saya melihat sekeliling dan melihat Hendri tengah menyelamatkan seorang perempuan yang sempat terbalik digulung ombak. Berhasil menyelamatkan perempuan itu, Hendri terlihat lega.
Saya menyusul Freti agar Izom yang sedang memegang kamera aksi di tangan kanannya dapat merekam petualangan seru itu. Jeram di sungai ini cukup unik, bentuknya berkelok-kelok, tidak terlalu dalam sehingga arusnya cukup deras.
Setelah jeram pertama, di aliran sungai yang agak tenang, Freti mengaku bahwa ini merupakan pengalaman pertamanya mengarungi kelok S. Menurutnya, kebiasaan babenen ini dilakukan anak-anak setempat setelah hujan. Karena sungai cenderung dangkal dan akan sulit kalau dilakukan di musim kemarau. Pelukan pertama Freti pada Kelok S bagaikan hadiah penambah semangat menghadapi US.
Pengalaman pertama Freti tidak membuatnya gentar, berkali-kali benennya terombang-ambing oleh hempasan ombak. Semburan air dari pecahan ombak juga tak jarang menampar wajahnya.
Tak lama terdengar jeritan anak-anak di depan kami, memberitahu bahwa ada sebuah batang kayu melintang dan batu besar di tengah jeram. Mereka menyuruh kami agar mengambil posisi ke kiri. Berpacu dengan derasnya arus, saya menggandeng benen Freti dan berenang ke kiri agar terhindar dari kayu dan batu itu.
Sesekali terdengar tawa bercampur takut Freti, saat melewati ombak jeram yang memicu adrenalin dan mendebarkan.
Kami terus mengarungi sungai Batang Buluh lebih kurang setengah jam, dengan jumlah jeram tak kurang dari 8. Hingga akhirnya sampai di seberang sungai, dekat rumah Freti. Kami berhenti di kelokan dan harus menyeberang untuk pulang. Anak-anak lain sudah sampai di seberang, begitu pula ayah Freti. Keraguan membuat saya terpaku sejenak, seakan tak mampu memotong arus sederas itu.
“Lalu sini, kak!” tunjuk Freti sambil berjalan ke arah hulu sekitar 20 meter dari posisi kami berdiri. Saya masih ragu, namun tak punya pilihan selain mengikuti langkah kecilnya melewati semak belukar. Tiba-tiba Freti dengan lihainya menghanyutkan tubuh mungilnya mengikuti arus dan sampai di seberang. Hendri menyambut tangan anaknya sambil tersenyum.
Saya menyusul Freti dengan susah payah menyeberangi arus sungai yang deras. Hampir jatuh di tengah sungai, akhirnya saya disambut oleh salah satu anak perempuan yang berhasil menyeberang lebih dulu.
Picuan adrenalin masih terasa di dada, kami duduk di tepi sungai menatap arus deras seakan tak percaya bahwa kami telah melewatinya. Kami memutuskan untuk kembali ke rumah karena waktu sudah menunjukkan pukul 11.30 tengah hari. Beberapa anak lain masih terus melanjutkan babenen dengan riangnya.
Batang Buluh merupakan hulu sungai Kuantan. Air sungai nan bening kehijauan ini menjadi simbol budaya, perekonomian dan tradisi masyarakat setempat. Sungai yang menjadi nadi kehidupan ini mulai terancam oleh maraknya perambahan dan perluasan perkebunan kelapa sawit di Hutan Lindung Bukit Betabuh.
Maraknya ancaman terhadap kondisi lingkungan terutama sungai, memberi gagasan pada ayah Freti. Beliau berencana akan mendorong ekowisata river tubing di kelok S.
“kelok S ini akan kami jadikan obyek wisata. Bersama masyarakat, kami akan membersihkan jalur kelok S dari kayu-kayu tumbang”, terangnya.
Hendri berharap upaya peningkatan ekonomi masyarakat melalui pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dan jasa lingkungan dapat mempertahankan Batang Buluh. Sehingga cita-cita Freti dan saudara-saudaranya untuk melanjutkan sekolah sampai jenjang universitas bisa tercapai (WA).