Zamzami – Rumah Hendri Yanto, di Desa Air Buluh, Lubuk Jambi, Kabupaten Kuantan Singingi terlihat ramai. Mereka ini pencari jernang, sekaligus pembibit tanaman rotan ini. Malam itu, para anggota Kelompok Tani Bukik Ijau sedang rapat membahas tindaklanjut surat persetujuan ninik-mamak atas penyerahan 300 hektar lahan pada zona pemanfaatan Hutan Lindung Bukit Betabuh.
“Bukit Betabuh adalah surga jernang. Tapi itu dulu, sekitar 10 tahun lampau. Kini sudah habis pohon jernang. Kalau dulu per 10 meter nampak pohon jernang. Kini satu jam perjalanan belum tentu nampak,” kata Hendri, pencari jernang, akhir Januari.
Jernang adalah resin buah rotan (daemonorops draco). Di luar negeri dikenal dengan dragon’s blood. Bubuk merah padat pada sisik jernang ini dimanfaatkan untuk bahan kosmetik, obat-obatan dan pernis berbahan kayu seperti biola dan kerajinan lain.
Hendri mulai mencari jernang pada 2004. Saat itu, harga jernang baru Rp200.000 ribu per kilogram. Harga makin naik dan membuat makin bersemangat mengumpulkan jernang. Bahkan 2015, bubuk jernang atau istilah lain getah jernang Rp5,8 juta per kilogram.
“Bisa dibilang rumah, motor dan anak-anak ini dibesarkan oleh jernang,” katanya tertawa kecil.
Kini, harga bubuk jernang masih bagus Rp3,5 juta per kilogram. Bubuk ini dipasarkan ke luar provinsi yakni Sumatera Barat dan Jambi. Hendry tidak harus keluar kampung untuk memasarkan karena ada pembeli datang ke rumahnya.
“Waktu itu awak cuma punya tiga ons saja dijemput pakai Innova ke sini. Coba bayangkan jauhnya dijemput ke desa ini.”
Rotan jernang berkurang di hutan lindung Bukit Betabuh tak terpisahkan dari pembalakan liar dan alih fungsi kawasan menjadi perkebunan sawit masif.
Menurut dia, sedikitnya 60% populasi jernang habis dalam waktu 10 tahun terakhir. Sulitnya hasil panen jernang di hutan memaksa dia mencari pekerjaan tambahan.
Hasil panen sedikit, kemungkinan juga karena mulai marak pencari getah jernang dari daerah lain Bukit Betabuh.
“Dah 15 hari ini (saya) bekerja sama orang (di kebun karet) untuk dapat (menambah penghasilan) Rp300.000.”
Sementara itu, dampak penebangan liar Bukit Betabuh juga dirasakan pada kehidupan sehari-hari di desa. Aliran air sungai yang berhulu di dalam hutan lindung kini rusak.
Mat Gazali, Ketua Kelompok Tani Bukik Ijau, mengatakan, illegal loggingmasih marak hingga sekarang. Bahkan, perambahan kayu itu terjadi sampai ke pinggir sungai. Dia memperkirakan, sudah 1,5 kilometer aliran sungai dari mata air di Bukit Betabuh terambah.
“Kalau dulu hujan sehari langsung jernih. Kini berhari-hari baru jernih, itupun (debit) air makin kecil. Dulu, air sungai itulah yang kami minum. Sekarang lebih banyak membeli air kemasan,” katanya.
Saking geram dengan pembalakan liar, tahun lalu, masyarakat serentak membakar 13 bedeng milik penebang. Pekan terakhir 2016, mereka menggagalkan penghancuran hutan dengan menyita alat berat milik warga dari desa di provinsi sebelah. Kondisi inilah yang membuat Mat Gazali, Hendri dan 16 warga Desa Air Buluh membentuk Kelompok Tani Bukik Ijau.
Lembaga ini terbentuk pada 23 Oktober 2016. Mereka berhimpun untuk menjaga Bukit Bertabuh bisa pulih kembali. Mereka membayangkan jika hutan alam yang membentang di sepanjang jalur bukit barisan Sumatra itu kembali pulih, maka sumber air bisa kembali terjaga begitu juga dengan rumpun-rumpun rotan jernang.
“Tahun 2017, kami sepakat tak akan lagi cari kayu. Kami akan menanam jernang. Salah satu visi Bukik Ijau adalah menjadikan Kuansing sebagai sentra jernang di Riau,” ucap Gazali.
Sebagian dari anggota kelompok tani ini dulu para petani sawit, karet dan pencari kayu alias pembalak liar. Sunarto (50), misal, dulu pembalak. Dia menebangi pohon-pohon besar untuk kirim ke sawmill.
Kini, dia merasa sangat berdosa atas apa yang pernah diperbuat. Dia bahkan pernah memotong kayu dan menghancurkan jernang yang tumbuh di bawahnya.
“Waktu itu satu rumpun bisa dapat 50 kilogram. Ya, kini menyesal. Saya waktu itu ndak tahu apa itu jernang. Kalau tahu, ndak akan dipotong.”
Kelompok tani ini kini telah memiliki lokasi pembibitan jernang sendiri yang dikelola komunal. Selain itu, masing-masing anggota juga memiliki bibit sendiri-sendiri. Mereka mulai mencari bibit jernang di hutan tahun lalu. Tak semua bibit yang mereka bawa dari hutan bisa tumbuh. Mereka belajar setiap kali kegagalan percobaan.
“Kini kami mencoba membawa bibit dari hutan dengan membungkus akar dengan tisu. Ini sepertinya bisa berhasil. Kadang tiba di rumah, bibit busuk. Mungkin kebanyakan air. Kami masih belajar,” ucap Hendri.
Dia berharap, ada perhatian pemerintah untuk memberikan pengetahuan tentang jernang. “Tak pernah ada bimbingan dari pemerintah. Untung ada teman seperti Bang Melki (LSM HutanRiau) yang membantu selama ini.”
HutanRiau adalah lembaga swadaya masyarakat yang berada di belakang kelompok tani ini. LSM ini berperan sebagai pengarah yang memberi dorongan kepada warga bisa mengorganisasikan diri secara mandiri.
“Kita ingin menyelamatkan hutan yang tersisa dan mendorong kekuatan ekonomi masyarakat dari hasil hutan bukan kayu. (Kalau) mereka selama ini memanfaatkan ekonomi dari membuka lahan dan kayu, jika itu terus terjadi akan memperluas kerusakan hutan,” kata M Roemania atau Melki, dari Yayasan HutanRiau.
HutanRiau, katanya, datang dan berdiskusi dengan masyarakat soal kondisi hutan rusak, dan ada masyarakat merasakan dampak kerusakan itu. Tiap bulan ada anggota Hutan yang terjun ke masyarakat untuk pendampingan.
Mengenai inisiasi kelompok ini, Haris, Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Kuantan Singingin Selatan, juga membawahi HL Bukit Betabuh sangat mendukung kegiatan kelompok ini.
“Usaha pemulihan kawasan tak akan berhasil jika tidak ada dukungan dari masyarakat. Apalagi mereka sudah punya komitmen menghijaukan kembali hutan,” katanya.
Ke depan, program KPH bagaimana menyelamatkan blok inti dari perambahan dan mendorong pola kemitraan bagi masyarkat untuk memanfaatkan hasil hutan bukan kayu di kawasan pemanfaatan.
“Kami senang ada kelompok ini. Kami terus mendorong agar kelompok-kelompok seperti ini tumbuh di desa-desa lain.”
KPHL Kuantan Singingi Selatan memiliki luas kawasan mencapai 82.000 hektar melingkupi hutan lindung Bukit Betabuh di Lubuk Jambi, hutan lindung Batang Lipai Siabu, hutan lindung Sentajo, hutan produksi tetap Peranap Blok I dan hutan produksi terbatas (HPT) Batang Lipau Siabu.
Sekitar 50% tutupan hutan diokupasi perkebunan sawit, pertanian hingga pembalakan liar. Hutan primer hanya tersisa 304,25 hektar hanya terdapat di Batang Lipai Siabu. Sedangkan di Bukit Betabuh, justru didominasi perkebunan mencapai 17.200,24 hektar atau lebih luas dibandingkan hutan sekunder yang hanya 15.902,15 hektar. Sisanya, tanah kering, semak belukar dan pertanian lahan kering campur semak. (Habis)
sumber : Mongabay Indonesia